Monday, 6 December 2010

Ajang pencarian bakat dan rating televisi

Belakangan layar kaca televisi kita dihiasi dengan berbagai acara ajang pencarian bakat.  Hampir di semua stasiun televisi memiliki acara serupa. Dari beberapa tahun yang lalu kita telah menyaksikan Akademi Fantasi Indosiar, Indonesian Idol (RCTI), Dangdut mania (TPI),  Mama Mia Show (Indosiar), Cabe Rawit (TPI), Idola Cilik (RCTI), dan lainnya. Bahkan beberapa acara tersebut dilakukan secara berulang-ulang layaknya konsep pendidikan di sekolah, ketika satu tingkat lulus maka akan ada lagi adik-adik tingkat yang akan masuk. Seperti itulah wajah televisi kita akan dihiasi terus menerus dengan program acara yang sama hanya berbeda finalis dan angkatannya saja hingga akhirnya pemirsa bosan barulah tayangan tersebut dihentikan. Jika beberapa tahun lalu pencarian bakat terfokus pada bakat menyanyi, maka sekarang ini ‘kreatifitas’ media massa mulai ‘beraksi’. Acara – acara itu dimodifikasi sehingga tidak saja terfokus pada bakat menyanyi, tetapi juga pada semua bakat apapun yang dipunyai masyarakat Indonesia. Sebut saja Indonesia Mencari Bakat (trans TV), Indonesia’s Got Talent (Indosiar), Suara Indonesia (Trans TV), Voice of Indonesia (Indosiar), dan lain-lain.  Pengemasan program yang dibuat eksklusif, audisi yang diadakan di kota-kota besar, serta total hadiah ratusan juta rupiah plus kontrak eksklusif dengan stasiun Televisi membuat banyak orang tergiur. Ajang ini seolah menawarkan ‘ketenaran instan’ kepada masyarakat. Parahnya lagi banyak orang yang memang ingin meraih ‘ketenaran instan’ ini. Hanya dengan bermodalkan coba-coba, kemampuan pas-pasan, serta dengan alasan mengadu nasib ribuan orang mendaftarkan diri mengikuti audisi pencarian bakat ini dengan tujuan ketenaran dan sukses.
Fenomena ini seakan mendominasi wajah Indonesia saat ini. Padahal seharusnya kita perlu lebih jeli melihat apa yang sebenarnya yang diinginkan media massa dengan ‘topeng’ pencarian bakat ini.  Berdasarkan survey yang dilakukan oleh nielsen rata-rata penonton program mencari bakat di bulan  (1-27 September) lebih banyak 72% (1,5 juta orang usia 5 tahun ke atas) daripada perolehan di awal tahun ini yang hanya berjumlah 886 ribu orang. Dengan kata lain, perolehan rating program mencari bakat di usia 5 tahun ke atas naik dari rata-rata 1,8 menjadi 3,1. (http://www.agbnielsen.net ; newsletter #9 September 2010). Hal ini menjadikan sebuah pertanyaan, apakah ajang pencarian bakat murni bertujuan untuk mencari bakat-bakat terbaik anak-anak bangsa ataukah hanya perlombaan rating semata?.
Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia kalau stasiun-stasiun televisi swasta saling berlomba mengungguli satu sama lain. Setiap stasiun televisi pasti akan berusaha keras menayangkan aneka informasi dan hiburan yang dapat merebut hati masyarakat Indonesia. Sudah menjadi hal yang wajar apabila acara di salah satu stasiun sangat persis konsepnya dengan acara di stasiun lain. Karena untuk merebut hati pemirsanya sudah tidak peduli lagi  salah dan benarnya. Segala cara dilakukan mulai dari menjiplak konsep, ide satu sama lain. Akhirnya layar kaca menjadi konsep yang monoton . Contohnya seperti disebutkan di atas yaitu ajang pencarian bakat. Saat sebuah stasiun sukses dengan acara pencarian bakatnya, maka stasiun televisi lain sudah pasti akan mengikuti jejak itu, karena tergiur oleh rating yang akan diperoleh. Untuk memperoleh rating itu maka sudah pasti sasarannya adalah masyarakat. Sayangnya masyarakat kita sekarang ini masih banyak yang belum menyadari bahwa sebenarnya mereka dijadikan media sebagai alat pengeruk keuntungan. Masyarakat dibombardir dengan acara yang melankolis, mendramatisir keadaan, yang intinya tidak memberi manfaat sama sekali. Para peserta ajang pencarian bakat seakan dieksploitasi secara halus dan rapi oleh media yang memang ingin meraih keuntungan dari tindakan mereka tersebut.
Bekerja sebgai industri media memang agak berat, karena penontonnya tidak dapat diprediksi sebelumnya.  Untuk membuat suatu program acara yang baru merupakan hal yang “gambling” apakah acara tersebut sukses atau tidak. Mungkin salah satu ‘cara aman’ adalah dengan saling contek mencontek. Ketika suatu acara sukses, kenapa tidak kita ikut-ikutan membuat acara yang serupa?. Namun perlu diperhatikan para bintang yang ada di ajang pencarian bakat. Apakah mereka hanya dijadikan sebagai sebuah komoditas yang dibentuk menjadi sebuah “brand” tersendiri lengkap dengan “positioning” yang khusus pula demi perolehan rating media massa. Karena hal ini tidak terlepas dari bisnis media massa sebagai sebuah industri. Dan perlu diingat juga karakter prodesen pesan televisi selain teamwork dan interdependensi juga ada kepentingan di dalamnya, salah satunya kepentingan ekonomi yang juga akan mengarah kepada perolehan rating itu sendiri.

Fenomena Gaya Hidup ( Life Style ): Globalisasi dan Modernitas Pada Gaya Hidup Remaja Masa Kini

Gaya hidup atau life style. Kata ini pasti tidak asing di telinga masyarakat. Namun, apa sebenarnya makna dari gaya hidup itu sendiri?
            Saat ini, tampak telah terjadi pergeseran makna dari kata gaya hidup. Beberapa orang mengungkapkan, saat mendengar kata itu, yang pertama terlintas di pikiran mereka adalah menjalani hidup dengan gaya yang mewah atau eksklusif dan hedonisme. Arti sesungguhnya, gaya hidup tidak hanya hidup yang dijalani dengan mewah, tapi juga bisa dengan cara yang sederhana. Pergeseran makna terjadi pula dalam cara menilai individu. Kalimat ‘don’t judge the book by it’s cover’ sudah tidak berlaku. Banyak individu dinilai hanya dari penampilannya.
            Hal ini tidak terlepas dari globalisasi dan modernitas. Banyaknya pusat perbelanjaan atau mall yang dibuka dan memberikan fasilitas yang lengkap dari sederet toko, tempat makan, tempat hang out, bioskop, atm center, tempat bermain anak, hingga hall yang serbaguna (terangkum dalam suatu tempat yang dijuluki one stop shopping center). Faktor kemudahan tersebut membuat banyak remaja tidak peduli berapa biaya yang akan keluar untuk sekedar hang out atau belanja di pusat perbelanjaan.
            Serbuan media massa dianggap sebagai media paling kuat pengaruhnya terhadap remaja. Misalnya saja iklan produk-produk kecantikan yang menggunakan model dengan wajah dan tubuh sempurna. Kesukaan remaja terhadap artis idolanya yang terkadang berlebihan membuat mereka menganggap apa yang dipakai sang artis harus juga dipakai olehnya akhirnya dimanfaatkan untuk bisnis produk tersebut. Padahal mungkin dari segi harga, hal ini dianggap kurang cocok, mengingat para remaja kebanyakan belum punya penghasilan sendiri, namun demi terlihat menarik, hal itu tetap dipaksakan sehingga orang tualah yang akhirnya menjadi sasaran. Yang mereka pikirkan adalah mengikuti tren yang ada karena ketakutan dianggap kampungan atau ketinggalan jaman.
            Dasar lainnya adalah maraknya gaya hidup alternatif yaitu gerakan back to nature, eco life style, atau green force. Gerakan kembali ke alam ini terlihat bagus dan berdampak baik pada bumi di masa akan datang. Namun, adanya hal-hal khusus yang harus dijaga dan dikondisikan dalam tiap pembuatan eco label tersebut membuatnya disebar dengan harga mahal dan cenderung eksklusif. Contohnya eco fashion, yaitu membuat garmen dengan cara yang ramah lingkungan, tanpa menyakiti makhluk hidup, peduli para pekerjanya, serta memperhatikan kesehatan pemakainya. Selain itu ada pula eco cosmetic yang dibuat tanpa bahan kimia serta menggunakan bahan-bahan alami dengan standar organik tertentu. Kembali lagi, meskipun barang-barang eco label ini terhitung jauh dari jangkauan keadaan finansial remaja, tapi karena kampanye green living sedang menjadi pembicaraan hangat, menjadi tren terkini, dan sekali lagi, dengan model para artis yang mereka idolakan, para remaja akhirnya memaksakan diri untuk ikut ‘terjun’ dalam dunia green living tersebut.