Gaya hidup atau life style. Kata ini pasti tidak asing di telinga masyarakat. Namun, apa sebenarnya makna dari gaya hidup itu sendiri?
Saat ini, tampak telah terjadi pergeseran makna dari kata gaya hidup. Beberapa orang mengungkapkan, saat mendengar kata itu, yang pertama terlintas di pikiran mereka adalah menjalani hidup dengan gaya yang mewah atau eksklusif dan hedonisme. Arti sesungguhnya, gaya hidup tidak hanya hidup yang dijalani dengan mewah, tapi juga bisa dengan cara yang sederhana. Pergeseran makna terjadi pula dalam cara menilai individu. Kalimat ‘don’t judge the book by it’s cover’ sudah tidak berlaku. Banyak individu dinilai hanya dari penampilannya.
Hal ini tidak terlepas dari globalisasi dan modernitas. Banyaknya pusat perbelanjaan atau mall yang dibuka dan memberikan fasilitas yang lengkap dari sederet toko, tempat makan, tempat hang out, bioskop, atm center, tempat bermain anak, hingga hall yang serbaguna (terangkum dalam suatu tempat yang dijuluki one stop shopping center). Faktor kemudahan tersebut membuat banyak remaja tidak peduli berapa biaya yang akan keluar untuk sekedar hang out atau belanja di pusat perbelanjaan.
Serbuan media massa dianggap sebagai media paling kuat pengaruhnya terhadap remaja. Misalnya saja iklan produk-produk kecantikan yang menggunakan model dengan wajah dan tubuh sempurna. Kesukaan remaja terhadap artis idolanya yang terkadang berlebihan membuat mereka menganggap apa yang dipakai sang artis harus juga dipakai olehnya akhirnya dimanfaatkan untuk bisnis produk tersebut. Padahal mungkin dari segi harga, hal ini dianggap kurang cocok, mengingat para remaja kebanyakan belum punya penghasilan sendiri, namun demi terlihat menarik, hal itu tetap dipaksakan sehingga orang tualah yang akhirnya menjadi sasaran. Yang mereka pikirkan adalah mengikuti tren yang ada karena ketakutan dianggap kampungan atau ketinggalan jaman.
Dasar lainnya adalah maraknya gaya hidup alternatif yaitu gerakan back to nature, eco life style, atau green force. Gerakan kembali ke alam ini terlihat bagus dan berdampak baik pada bumi di masa akan datang. Namun, adanya hal-hal khusus yang harus dijaga dan dikondisikan dalam tiap pembuatan eco label tersebut membuatnya disebar dengan harga mahal dan cenderung eksklusif. Contohnya eco fashion, yaitu membuat garmen dengan cara yang ramah lingkungan, tanpa menyakiti makhluk hidup, peduli para pekerjanya, serta memperhatikan kesehatan pemakainya. Selain itu ada pula eco cosmetic yang dibuat tanpa bahan kimia serta menggunakan bahan-bahan alami dengan standar organik tertentu. Kembali lagi, meskipun barang-barang eco label ini terhitung jauh dari jangkauan keadaan finansial remaja, tapi karena kampanye green living sedang menjadi pembicaraan hangat, menjadi tren terkini, dan sekali lagi, dengan model para artis yang mereka idolakan, para remaja akhirnya memaksakan diri untuk ikut ‘terjun’ dalam dunia green living tersebut.
Dalam lingkungan, khususnya kelompok mungkin ada sanksi yang akan diperolehnya jika ia tidak menyamakan diri dengan yang lain, suka atau tidak suka ia akan melakukan hal itu. Self identity individu dalam kelompok seakan tidak lagi tampak dikarenakan adanya persamaan secara kelompok dalam hal pemikiran dan tindakan (baik mengacu pada satu orang yang dianggap pemimpin atau berdasarkan pemikiran bersama). Ditambah pula seringnya timbul persepsi out-group, yaitu sebuah wujud antipati pada kelompok lain.
Banyaknya kemudahan akses informasi ataupun kemudahan mendapatkan sesuatu yang ditampilkan dalam media massa semakin membuat para remaja meyakini bahwa gaya hidup mereka harus mengikuti tren masa kini. Artis-artis yang diidolakan menjadi model paling mudah ditiru oleh para remaja karena mereka dapat mengobservasi perilaku artis idola dari media massa ( Teori Modelling. Albert Bandura).
Dari isu di atas, sangat masuk akal jika sebagian besar remaja memiliki pemikiran dan gaya hidup yang cenderung sama. Namun tidak adil juga jika semua remaja dikatakan seperti itu. Pasti ada dari mereka yang tidak melakukan hal yang sama. Isu ini termasuk salah satu masalah generasi muda dalam masyarakat moderen. Mungkin orangtua tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena kurangnya perhatian, kurangnya komunikasi, atau ketidakharmonisan keluarga. Kontrol dari orang tua tetap perlu tapi bukan berarti melarang. Karena semakin dilarang, remaja akan semakin penasaran dan tertantang untuk melakukan hal tersebut.
Kuncinya adalah kedewasaan menghadapinya. Selain itu, ditekankan bahwa seleksi sangat penting dalam diri para remaja masa kini untuk menghindari hal-hal negatif sebagai dampak globalisasi. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa jeratan globalisasi telah dengan mudahnya mengikat para remaja yang sedang dalam transformasi masa kanak-kanak ke dewasa karena pemikirannya yang masih labil. Namun alangkah baiknya jika remaja dapat memikirkan, memilah, dan menyesuaikan diri dengan gaya hidup di era globalisasi dan modern ini agar tidak terperangkap dalam hal negatifnya.
Memang akan sulit melakukannya karena besarnya pengaruh dari luar tidak dapat dilawan dengan dorongan yang cenderung kecil dari dalam diri. Di sinilah orangtua berperan penting untuk memberikan pengertian dan dorongan-dorongan positif pada anak. Misalnya dengan mengalihkan perhatian dan waktu mereka untuk melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat seperti mengikuti ekstrakurikuler ataupun belajar membuat suatu karya. Lebih mudah lagi jika kegiatan dilakukan dengan kelompoknya. Sikap perasaan in-group dalam dunia remaja akan memudahkan proses mengurangi efek negatif dari gaya hidup yang kurang pantas untuk usia remaja.
No comments:
Post a Comment