Fenomena ini seakan mendominasi wajah Indonesia saat ini. Padahal seharusnya kita perlu lebih jeli melihat apa yang sebenarnya yang diinginkan media massa dengan ‘topeng’ pencarian bakat ini. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh nielsen rata-rata penonton program mencari bakat di bulan (1-27 September) lebih banyak 72% (1,5 juta orang usia 5 tahun ke atas) daripada perolehan di awal tahun ini yang hanya berjumlah 886 ribu orang. Dengan kata lain, perolehan rating program mencari bakat di usia 5 tahun ke atas naik dari rata-rata 1,8 menjadi 3,1. (http://www.agbnielsen.net ; newsletter #9 September 2010). Hal ini menjadikan sebuah pertanyaan, apakah ajang pencarian bakat murni bertujuan untuk mencari bakat-bakat terbaik anak-anak bangsa ataukah hanya perlombaan rating semata?.
Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia kalau stasiun-stasiun televisi swasta saling berlomba mengungguli satu sama lain. Setiap stasiun televisi pasti akan berusaha keras menayangkan aneka informasi dan hiburan yang dapat merebut hati masyarakat Indonesia. Sudah menjadi hal yang wajar apabila acara di salah satu stasiun sangat persis konsepnya dengan acara di stasiun lain. Karena untuk merebut hati pemirsanya sudah tidak peduli lagi salah dan benarnya. Segala cara dilakukan mulai dari menjiplak konsep, ide satu sama lain. Akhirnya layar kaca menjadi konsep yang monoton . Contohnya seperti disebutkan di atas yaitu ajang pencarian bakat. Saat sebuah stasiun sukses dengan acara pencarian bakatnya, maka stasiun televisi lain sudah pasti akan mengikuti jejak itu, karena tergiur oleh rating yang akan diperoleh. Untuk memperoleh rating itu maka sudah pasti sasarannya adalah masyarakat. Sayangnya masyarakat kita sekarang ini masih banyak yang belum menyadari bahwa sebenarnya mereka dijadikan media sebagai alat pengeruk keuntungan. Masyarakat dibombardir dengan acara yang melankolis, mendramatisir keadaan, yang intinya tidak memberi manfaat sama sekali. Para peserta ajang pencarian bakat seakan dieksploitasi secara halus dan rapi oleh media yang memang ingin meraih keuntungan dari tindakan mereka tersebut.
Bekerja sebgai industri media memang agak berat, karena penontonnya tidak dapat diprediksi sebelumnya. Untuk membuat suatu program acara yang baru merupakan hal yang “gambling” apakah acara tersebut sukses atau tidak. Mungkin salah satu ‘cara aman’ adalah dengan saling contek mencontek. Ketika suatu acara sukses, kenapa tidak kita ikut-ikutan membuat acara yang serupa?. Namun perlu diperhatikan para bintang yang ada di ajang pencarian bakat. Apakah mereka hanya dijadikan sebagai sebuah komoditas yang dibentuk menjadi sebuah “brand” tersendiri lengkap dengan “positioning” yang khusus pula demi perolehan rating media massa. Karena hal ini tidak terlepas dari bisnis media massa sebagai sebuah industri. Dan perlu diingat juga karakter prodesen pesan televisi selain teamwork dan interdependensi juga ada kepentingan di dalamnya, salah satunya kepentingan ekonomi yang juga akan mengarah kepada perolehan rating itu sendiri.